AMBON – Kedekatan Wali Kota Ambon, Bodewin Wattimena, dengan sejumlah organisasi kepemudaan (OKP) Islam belakangan ini menuai sorotan. Banyak pihak menduga ada agenda terselubung di balik kebijakan dan langkah-langkah politik yang dilakukan Bodewin. Salah satu yang menjadi sorotan adalah janji dana hibah untuk OKP, yang dinilai menjadi alat penjinak aktivis agar tidak mengkritisi kebijakan pemerintah kota.
Informasi yang dihimpun media ini menyebutkan bahwa dana hibah organisasi hanya diberikan kepada OKP yang sejalan dengan kebijakan wali kota. Hal ini memunculkan dugaan diskriminasi terhadap organisasi yang bersikap kritis. Sejumlah aktivis bahkan menilai, dana hibah tersebut dipakai untuk membungkam kritik dan memastikan semua pihak tunduk pada kepentingan politik Bodewin.
Setelah sebagian OKP Islam dianggap “jinak”, Bodewin disebut memainkan intrik lain. Lewat jaringan juniornya di GMKI, narasi pencitraan dibangun bahwa Wali Kota Ambon adalah pemimpin yang selalu berpihak pada rakyat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan kebijakan justru lebih banyak menyasar kelompok tertentu yang dianggap sebagai komunitas dekat wali kota.
Contoh paling nyata dapat dilihat dari ketimpangan kebijakan pasca-bencana kebakaran di Batu Merah. Sementara isu Hunuth ramai disuarakan oleh jaringan GMKI, nasib korban kebakaran di Batu Merah nyaris luput dari perhatian. Para aktivis OKP Islam pun tak banyak bersuara, diduga karena janji bantuan hibah organisasi yang nilainya fantastis membuat mereka enggan mengkritik.
Kebijakan terkait infrastruktur juga menuai kritik. Bodewin beralasan bahwa perbaikan jalan rusak di Batu Merah akan segera dianggarkan, padahal di daerah yang dikenal sebagai basis komunitasnya, pengerjaan jalan sudah tuntas dilakukan. Hal ini semakin menguatkan anggapan bahwa distribusi kebijakan di Kota Ambon pilih kasih.
Situasi di lapangan memperlihatkan ketimpangan yang mencolok. Di beberapa lokasi lain, jalan berlubang sudah diperbaiki secara menyeluruh, sementara masyarakat di Batu Merah harus bergotong-royong dan swadaya memperbaiki jalan yang rusak parah.
Di saat suara OKP Islam melemah, publik dapat menyaksikan betapa masifnya aktivitas framing yang dilakukan oleh kader GMKI. Melalui TikTok, WhatsApp Group, dan media massa, mereka mengkultuskan Bodewin seolah-olah ia adalah pemimpin yang datang dari surga untuk menyelamatkan masyarakat Ambon.
Banyak kalangan menilai semua pencitraan tersebut hanyalah kamuflase dan agenda politik terselubung yang bertujuan membodohi publik. Mereka mengingatkan agar masyarakat tidak mudah terjebak pada narasi yang dibangun secara sistematis.
Kasus Hunuth juga menjadi sorotan. Wali Kota Ambon terlihat turun langsung ke lokasi dan melakukan pencitraan, sementara Ketua DPRD Ambon, Morits Tamaela, justru menyalahkan Bupati Maluku Tengah atas keributan yang terjadi. Pernyataan ini dianggap tidak berdasar dan hanya melempar tanggung jawab.
Jika dibandingkan, jejaring politik Bodewin dan Bupati Maluku Tengah Zulkarnaen Awath Alkatiri sangat berbeda. Bodewin yang merupakan kader GMKI memiliki basis pengaruh yang kuat hanya di Maluku, sementara Zulkarnaen adalah pentolan HMI Nasional dengan jejaring luas hingga ke tingkat menteri. Hal ini dapat disimpulkan, Bodewin belum memahami kultur HMI yang berbeda dengan organisasi lain, sehingga berani bersikap konfrontatif dengan HMI tanpa menyadari konsekuensi politiknya.
Perbandingan Jejaring HMI dan GMKI
HMI : Terdistribusi hampir di seluruh Indonesia, hadir di hampir semua perguruan tinggi negeri dan swasta. Karena jaringannya luas, alumninya banyak masuk ke berbagai sektor, termasuk birokrasi, politik, TNI/Polri, akademisi, dan dunia usaha.
GMKI : Lebih terkonsentrasi di daerah-daerah dengan populasi Kristen yang signifikan. Di Maluku, GMKI sangat kuat karena basis anggotanya besar, tapi di luar daerah mayoritas Kristen, eksistensinya cenderung terbatas.
Jejaring Alumnus
HMI : Memiliki jejaring alumnus yang sangat luas, termasuk tokoh-tokoh nasional di eksekutif, legislatif, yudikatif, BUMN, dan lembaga negara lainnya. HMI sering dianggap salah satu “pabrik kader” bangsa.
GMKI : Jejaring alumninya ada, namun lebih terkonsentrasi di pemerintahan daerah dan lingkaran organisasi gereja atau lembaga berbasis umat Kristen. Di tingkat nasional, kekuatannya tidak sekuat HMI.
Pengaruh Politik dan Kebijakannya
HMI: Karena distribusinya merata dan kadernya banyak menduduki posisi strategis, HMI lebih berpengaruh dalam mempengaruhi kebijakan nasional dan memiliki bargaining politik yang kuat.
GMKI: Lebih berperan di isu-isu lokal dan sektoral, terutama advokasi terkait kepentingan komunitas Kristen atau daerah-daerah tertentu. ( SN- 113