Ditulis Oleh: Sofyan Tatroman Fungsionaris AP2RM Bidang Kajian Hukum dan Tata Kelola Publik
SUARANUNUSAKU.COM
Skandal pesta minuman keras yang menyeret Ketua DPRD Kota Ambon, Mourits Tamaela, bukan hanya noda moral pribadi, melainkan sebuah krisis yang menggerogoti martabat lembaga perwakilan rakyat. Pengakuan terbuka Mourits yang mengakui dirinya ikut meneguk miras di rumah dinas, telah menyingkap kenyataan pahit, rumah negara yang seharusnya dipakai melayani kepentingan rakyat justru berubah menjadi panggung pesta dan kekerasan.
Kasus ini tidak bisa dibiarkan selesai hanya dengan klarifikasi. Ada sejumlah aturan hukum yang jelas-jelas berpotensi dilanggar. Pasal 351 KUHP mengatur bahwa penganiayaan adalah tindak pidana, dengan ancaman hingga lima tahun penjara jika menyebabkan luka berat. Korban, Febri Pattikolahi alias Jimbron, harus menjalani operasi jahitan di wajah, fakta yang sudah cukup untuk menegaskan adanya tindak pidana. Bahkan, Pasal 55 KUHP memberi ruang bagi aparat penegak hukum untuk menyeret pihak yang memfasilitasi atau membiarkan tindak pidana itu terjadi.
Dari aspek etika jabatan, UU MD3 (UU No. 17 Tahun 2014 jo. UU No. 13 Tahun 2019) menegaskan bahwa pimpinan DPRD wajib menjaga martabat lembaga. Klarifikasi Mourits justru memperlihatkan bahwa prinsip ini telah dilanggar secara terang-terangan. Maka, Badan Kehormatan DPRD seharusnya segera memeriksa dan menindak ketua mereka, bahkan sampai pada opsi pemberhentian.
Lebih jauh, pesta miras di rumah dinas jelas melanggar Perda Kota Ambon No. 6 Tahun 2014 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, yang tegas melarang konsumsi miras di luar tempat resmi. Rumah dinas bukanlah restoran atau hotel berizin. Dengan kata lain, perbuatan Mourits dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum daerah.
Tak kalah penting, penggunaan rumah dinas untuk pesta miras dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan fasilitas negara, yang dalam konteks hukum berpotensi masuk ke ranah UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 20 Tahun 2001). Apalagi staf DPRD dilibatkan untuk membeli miras, hal yang menyalahi semangat UU ASN (UU No. 5 Tahun 2014), karena aparatur negara dilarang terlibat dalam tindakan tercela.
Kejanggalan lain muncul ketika publik mendesak rekaman CCTV dibuka. Mourits beralasan CCTV hanya terpasang tanpa fungsi rekam. Alasan ini justru mempertebal dugaan adanya upaya mengaburkan fakta. Transparansi seharusnya bukan sekadar kata, tetapi dibuktikan dengan tindakan nyata.
Karena itu, menurut hemat saya, kasus ini harus ditindak melalui dua jalur. Pertama, jalur etik-politik: DPRD Kota Ambon melalui Badan Kehormatan wajib memproses Mourits Tamaela dengan serius. Kedua, jalur hukum: aparat penegak hukum, baik Polresta Pulau Ambon maupun Polda Maluku, harus segera melakukan penyelidikan dan tidak ragu menyeret siapa pun yang terlibat, termasuk Ketua DPRD.
Masyarakat Maluku berhak mendapatkan kepemimpinan yang bersih, bukan pejabat yang menjadikan rumah negara sebagai tempat mabuk-mabukan. Ambon tidak boleh dibiarkan menjadi bahan tertawaan nasional hanya karena seorang pimpinan dewan gagal menjaga etika dan hukum.
Bagi kami di AP2RM, tuntutan ini jelas: laporkan Mourits Tamaela ke pihak berwajib, periksa melalui Badan Kehormatan, dan tegakkan hukum tanpa pandang bulu. Hanya dengan cara itu wibawa DPRD dan kepercayaan publik bisa dipulihkan.
(SN-078)
Sorry, we couldn't find any posts. Please try a different search.
SUARANUNUSAKU.COM | Ambon, 02 Oktober 2025 – Presiden Mahasiswa Universitas…
SUARANUNUSAKU.COM | Ambon, 02 Oktober 2025 – Publik Maluku kembali…
SUARANUNUSAKU.COM | Ambon, 02 Oktober 2025 – Komisi III DPRD…